9 May 2006 at 9:27 am | Posted in Artikel Islami |
Barangsiapa yg mengharapkan mati syahid dgn sepenuh hati, maka ALLAH akan memberikan
mati syahid kepadanya meskipun ia mati ditempat tidur (hadis).
Dunia hanya satu terminal dari seluruh fase kehidupan. Hanya Allah yang tahu rentang
usia seorang manusia.
Saya, Khadijah sebut saja demikian, menikah dengan Muhammad, 3 Oktober 1993.
Muhammad adalah kakak kelas saya di IPB. Selama menikah, suami sering mengingatkan
saya tentang kematian, tentang syurga, tentang syahid, dan sebagainya. Setiap kami
bicara tentang sesuatu, ujung2nya bicara tentang kematian dan indahnya syurga itu
bagaimana. Kalau kita bicara soal nikmatnya materi, suami mengaitkannya dengan
kenikmatan syurga yang lebih indah. Bahkan, berulang-ulang dia mengatakan, nanti
kita ketemu lagi di syurga. Itu mempunyai makna yg dalam bagi saya.
Hari itu, 16 Januari 1996, kami ke rumah orang tua di Jakarta. Seolah suami
mengembalikan saya kepada orang tua. Malam itu juga, suami saya mengatakan harus
kembali ke Bogor, karena harus mengisi diklat besok paginya. Menurutnya, kalau
berangkat pagi dari Jakarta khawatir terlambat.
Mendekati jam 12 malam, saya bangun dari tidur, perut saya sakit, keringat dingin
mengucur, rasanya ingin muntah. Saya bilang pada ibu saya, untuk diobati. Saya kira
maag saya kambuh. Saya sempat berpikir suami saya di sana sudah istirahat, sudah
senang, sudah sampai karena berangkat sejak maghrib. Saya juga berharap kalau ada
suami saya mungkin saya dipijitin atau bagimana. Tapi rupanya pada saat itulah
terjadi peristiwa tragis menimpa suami saya.
Jam tiga malam, saya terbangun. Kemudian saya shalat. Entah kenapa, meskipun badan
kurang sehat, saya ingin ngaji. Lama sekali saya menghabiskan lembar demi lembar
mushaf kecil saya. Waktu shubuh rasanya lama sekali. Badan saya sangat lelah dan
akhirnya tertidur hingga subuh. Pagi harinya, saya mendapat berita dari seorang
akhwat di Jakarta, bahwa suami saya dalam kondisi kritis. Karena angkutan yang
ditumpanginya hancur ditabrak truk tronton di jalan raya Parung. Sebenarnya waktu
itu suami saya sudah meninggal. Mungkin sengaja beritanya dibuat begitu biar saya
tidak kaget. Namun tak lama kemudian, ada seorang teman di Jakarta yang
memberitahukan bahwa beliau sudah meninggal. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun.
Entah kenapa, mendengar berita itu hati saya tetap tegar. Saya sendiri tidak
menyangka bisa setegar itu. Saya berusaha membangun keyakinan bahwa suami saya mati
syahid. Saya bisa menasihati keluarga dan langsung ke Bogor. Disana, suami saya
sudah dikafani. Sambil menangis saya menasihati ibu, bahwa dia bukan milik kita.
Kita semua bukan milik kita sendiri tapi milik ALLAH.
Alhamdulillah ALLAH memberi kekuatan. Kepada orang2 yang bertakziah waktu itu, saya
mengatakan : “Doakan dia supaya syahid.. doakan dia supaya syahid”. Sekali lagi
ketabahan saya waktu itu semata datang dari ALLAH, kalau tidak, mungkin saya sudah
pingsan.
Seperti tuntunan Islam, segala hutang orang yang meninggal harus ditunaikan. Meski
tidak ada catatannya, tapi tanpa disadari, saya ingat sekali hutang2 suami. Saya
memang sering bercanda sama suami, “Mas kalau ada hutang, catat. Nanti kalau Mas
meninggal duluan saya tahu saya harus bayar berapa.” Canda itu memang se! ring
muncul ketika kami bicara masalah kematian. Sampai saya pernah bilang pada suami
saya, “kalau mas meninggal duluan, saya yang mandiin. Kalau mas meninggal duluan,
saya kembali lagi ke ummi, jadi anaknya lagi.” Semua itu akhirnya menjadi kenyataan.
Beberapa hari setelah musibah itu, saya harus kembali ke rumah kontrakan di Bogor
untuk mengurus surat2. Saat saya buka pintunya, tercium bau harum sekali. Hampir
seluruh ruangan rumah itu wangi. Saya sempat periksa barangkali sumber wangi itu ada
pada buah-buahan, atau yang lainnya. Tapi tidak ada. Ruangan yg tercium paling
wangi, tempat tidur suami dan tempat yg biasa ia gunakan bekerja.
Beberapa waktu kemudian, dalam tidur, saya bermimpi bersalaman dengan dia. Saya cium
tangannya. Saat itu dia mendoakan saya: “Zawadakillahu taqwa waghafara dzanbaki, wa
yassara laki haitsu ma kunti” (Semoga Allah menambah ketakwaan padamu, mengampuni
dosamu, dan mempermudah segala urusanmu di manasaja). Sambil menangis, saya balas
doa itu dengan doa serupa.
Semasa suami masih hidup, doa itu memang biasa kami ucapkan ketika kami akan
berpisah. Saya biasa mencium tangan suami bila ia ingin keluar rumah. Ketika kami
saling mengingatkan, kami juga saling mendoakan.
Banyak doa-doa yang diajarkan suami saya. Ketika saya sakit, suami saya menulis doa
di white board. Sampai sekarang saya selalu baca doa itu. Anak saya juga hafal. Saya
banyak belajar darinya. Dia guru saya yang paling baik. Dia juga bisa menjelaskan
bagaimana indahnya syurga. Bagaimana indahnya syahid.
Waktu saya wisuda, 13 Januari 1996 saya sempat bertanya pada suami, “Mas nanti saya
kerja di mana?” Suami diam sejenak. Akhirnya suami saya mengatakan supaya wanita itu
memelihara jati diri. Saya bertanya, “Maksudnya apa?”, “Beribadah, bekerja membantu
suaminya, dan bermasyarakat”. Saya berpikir bahwa saya harus mengurus rumah tangga
dengan baik. Tidak usah memikir! kan pekerjaan. Sekarang, setiap bulan saya hidup
dari pensiun pegawai negeri suami. Meskipun sedikit, tapi saya merasa cukup. Dan
rejeki dari ALLAH tetap saja mengalir. ALLAH memang memberi rejeki pd siapa saja,
dan tidak tergantung kepada siapa saja. Katakanlah meski suami saya tidak ada,tapi
rejeki ALLAH itu tidak akan pernah habis.
Insya ALLAH saya optimis dengan anak2 saya. Saya ingat sabda Nabi : “Aku dan
pengasuh anak yatim seperti ini”, sambil mendekatkan kedua buah jari tangannya. Saya
bukan pengasuh anak yatim, tapi ibunya anak yatim. Meski masih kecil-kecil, saya
sudah merasakan kedewasaan mereka. Kondisi yang mereka alami, membuat mereka lebih
cepat mengerti tentang kematian, neraka, syurga bahkan tentang syahid. Rezeki yg
saya terima, tak mustahil lantaran keberkahan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar